Jurnalis sekaligus Warga Negara Indonesia yang tinggal di Italia, Rieska Wulandari menceritakan perjalanan Covid 19 di negara 'spaghetti' ini. Rieska menjelaskan, virus pertama kali terdeteks saat turis asal China terpapar Covid 19 berkunjung di Kota Roma, Italia. "Kita warga mulai bertanya tanya juga karena mereka melalui kota dan provinsi yang kita tinggal. Wah lewat ke sini nih."
"Saat itu kita musti hati hati karena mungkin akan ada masalah," katanya dikutip dari siaran langsung Facebook National Geographic Magazine Indonesia, Selasa (19/6/2020). Rieska melanjutkan, setelah diketahui Covid 19 masuk ke Italia, saat itu di Kota Milan juga tengah dilanda flu seasonal yang menyebabkan banyak warga terserang flu. Akibatnya aktivitas sekolah mulai terganggu maupun kegiatan orangtua murid juga mengalami masalah yang sama.
"Kesehatannya mulai terganggu. Itu sudah membuat kita low immune semuanya itu." Keadaan tersebut terus berlangsung hingga di tanggal 23 Februari 2020, di mana Pemerintah Italia secara resmi menerapkan kebijakan karantina wilayah untuk sebagian provinsi. Rieska mengaku dapat belajar dari apa yang dilakukan Italia.
Menurutnya, Pemerintah Italia secara bertahap melakukan penanggulangan paparan Covid 19. "Mereka melihat kondisi dari detik ke detik, waktu ke waktu yang itu saya perhatikan langsung," imbuhnya. Ia menyebut langkah tersebut tidak lepas dari pemerintah setempat untuk mempelajari dan memahami musuhnya itu, yakni Covid 19 terlebih dahulu sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan.
Namun di sisi lain, media masa dituntun cepat untuk menyajikan infomasi kepada publik. "Saya sebagai jurnalis jadi berpikir wah ini jadi kayak perang antara media dengan pemerintah Italia," ucap dia. Dalam perkembangannya, perjalanan Covid 19 di Italia juga tidak lepas dari terpaan kabar hoaks.
Rieska melaporkan ada ribuan kabar bohong yang mengiri persebaran virus ini. "Misalnya vaksinya sudah ada atau penyakit ini buatan, atau penyakit ini hasil konspirasi." "Awal awal itu Kementerian Kesehatan Italia bilang menemukan 2.000 hoaks. Ada yang politik, ekonomi, konspirasinya," bebernya.
Rieska melanjutkan ceritanya, dalam perjalanan Covid 19 di Italia isu ketakutan terhadap suatu ras (xenophobia) juga sempat merebak di kalangan warga Italia. Meskipun demikian keadaan di atas tidak berlangsung lama. "Sempat terjadi (xenophobia, red), tapi negara pertama yang membantu Italia, memberikan masker, memberikan alat alat kesehatan justru China," kata Rieska.
Lewat uluran tangan negara China, Italia mulai memahami adanya senasib dan sepenanggungan. "Ketika China mengirimkan masker atau APD mereka menulis, kita berada dalam laut, ombak dan bahtera yang sama." "Ini menjadi solidaritasnya naik dan masyarakat memahami," tutur Rieska.
Bantuan dari China, begitu berharga untuk Italia dikarenakan bantuan dari negara tetangga di sesama benua Eropa belum datang. "Justru China yang waktu itu sudah mulai mengambil alih situasi mereka mengalirkan bantuan kepada Italia dan itu dihargai." "Jadi naik respect warga Italia kepada China naik. Sempet ada xenophobia jelas, tapi kemudian cepat berubah karena sikap baik dari China," imbuhnya.
Terakhir Rieska menegaskan tidak mudah bagi Pemerintah Italia untuk menangani persebaran Covid 19 di negaranya. Menurutnya kunci utamanya terletak di sejalannya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. "Mereka cukup kuat dan solid dalam mengambil keputusan. Mereka juga menjelaskan bahwa musuhnya Covid 19 dan kita semua adalah korbannya," pungkas Rieska.
Sedangkan jumlah populasi penduduknya sebesar60.471.924 jiwa.